0 / 0
6627/Dhu al-Qi'dah/1446 , 25/Mei/2025

Seputar Konsep Keadilan Para sahabat. Apakah Kehadiran Orang-orang Munafik dan Orang yang Datang dengan Kefasikan Seperti Al-Walid bin Uqbah Mencemarkan Keadilan Sahabat ?

Pertanyaan: 271569

Saya mengakui sepenuhnya keadilan semua sahabat, dan saya juga tahu bahwa seorang sahabat adalah orang yang bertemu dengan Nabi, beriman kepadanya, dan meninggal dalam keadaan Islam. Saya pun tahu bahwa Allah Ta’ala memuji para sahabat di dalam Kitab suci-Nya, dan begitu pula Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dalam hadits, riwayat seorang sahabat dapat diterima meskipun tidak dikenal, seperti kalau misalnya dikatakan, “Seorang laki-laki dari para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” Hal itu karena semua sahabat bersikap adil. Akan tetapi, saya mengalami masalah dalam memahami. Maka saya ingin menenteramkan hati saya, karena saya percaya kepada semua sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Yakni, pada masa Nabi ada orang-orang munafik yang tidak diketahui seorang pun kecuali oleh Allah Ta’ala, lalu Dia mengabarkan hal itu kepada Rasul-Nya. Saya pikir Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menyampaikannya kepada Hudzaifah bin Al-Yaman, dan bahwa Allah Ta’ala telah menurunkan firman-Nya,

إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ

‘.... jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu)....” (QS. Al-Hujurat : 6).

Ayat ini sebagaimana telah disampaikan kepada saya, diturunkan tentang Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’aith. Jadi, apakah al-Walid orang yang fasik  ? Apakah Al-Walid bertemu dengan Nabi sebagai orang yang beriman kepadanya ? Maksud saya, apakah dia sahabat yang adil ?

Teks Jawaban

Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah, wa ba'du:

Pertama.

Definisi sahabat yang paling benar adalah definisi yang dipilih oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah dalam kitab Al-Ishabah fi Tamyiz As-Shahabah (1/158), beliau berkata, “Definisi yang paling benar yang pernah aku temui adalah bahwa sahabat adalah orang yang bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beriman kepadanya, dan meninggal dalam keadaan Islam.”

Berdasarkan hal tersebut, orang-orang munafik itu sesungguhnya adalah orang-orang yang paling munafik, mereka tidak termasuk para sahabat, karena mereka tidak beriman kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Semua sahabat itu adil, karena Allah telah menilai adil mereka, dan karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga telah menilai adil mereka, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

التوبة/100

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS. At-Taubah : 100).

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً

البقرة/143

“Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan.” (QS. Al-Baqarah : 143).

Allah Ta’ala juga berfirman,

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ

آل عمران/110

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (QS. Ali Imran : 110).

Orang-orang yang pertama kali masuk ke dalamnya adalah para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena mereka adalah sebaik-baik umat dan sebaik-baik manusia, sebagaimana telah diriwayatkan berulang-ulang dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Para ulama telah sepakat (Ijma’) mengenai hal ini.

Ibnu Shalah berkata dalam kitab Ulum Al-Hadits (hal. 171), “Sesungguhnya umat ini telah sepakat untuk menilai adil (terpercaya dan taat) kepada seluruh sahabat, begitu pula terhadap orang-orang yang terlibat dalam fitnah yang ada di antara mereka. Hal ini sudah ditetapkan berdasarkan konsensus (kesepakatan) para ulama yang pendapat-pendapat mereka diakui dalam hal ijma’ sebagai bentuk baik sangka kepada mereka, dan mengingat amal-amal besar yang telah mereka lakukan. Seolah-olah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kesempatan kepada umat untuk melakukan ijma’ akan keadilan mereka, karena mereka adalah para penyebar awal syari’at Islam ini.”

Ibnu Abdil al-Barr Rahimahullah mengatakan, “Mereka adalah generasi terbaik dan umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia. Keadilan mereka semua telah dibuktikan dengan pujian dari Allah Azza wa Jalla dan pujian dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tidak ada seorang pun yang lebih adil daripada orang yang diridhai Allah untuk menjadi sahabat Nabi-Nya dan untuk mendukungnya. Tidak ada pujian yang lebih baik dari itu, dan tidak ada penilaian adil yang lebih sempurna dari itu.” (Al-Isti’ab fi Ma’rifat Al-Ashhab, 1/3).

An-Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Semua sahabat adalah orang yang adil, baik yang terlibat dalam kancah fitnah maupun tidak, ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang dapat diperhitungkan.” (At-Taqrib wa At-Taisir, hal. 92).

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan, “Ahlussunnah sudah sepakat untuk menyatakan bahwa semua sahabat adalah adil. Tidak ada orang yang menyelisihi dalam hal itu, melainkan orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahli bid’ah.” (Al-Ishabah fi Tamyiz As-Shahabah, 1/10).

Kedua.

Keadilan para sahabat bukan berarti mereka sempurna dan terbebas dari dosa. Tidak ada satupun ulama yang mengatakan hal ini. Mungkin ada di antara mereka yang pernah melakukan kesalahan dan kekhilafan, dosa kecil maupun dosa besar. Sebaliknya, yang dimaksud dengan keadilan mereka adalah bahwa kata-kata dan berita-berita mereka dipercaya sepenuhnya. Mereka tidak sengaja berdusta dalam kesaksian dan berita-berita mereka, dan mereka tidak sengaja berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Al-Mardawi dalam kitab At-Tahbir Syarah At-Tahrir (4/1994) mengatakan, “Keadilan mereka (para sahabat) bukan berarti mereka terjaga dari dosa, dan tidak mungkin mereka melakukan maksiat. Akan tetapi, maksudnya adalah keadilan sahabat juga bisa berarti diterimanya periwayatan mereka tanpa perlu bersusah payah mencari sebab-sebab keadilan dan kebersihan mereka.”

Al-Khathib Al-Baghdadi mengatakan dalam kitab Al-Kifayah fi ‘Ilm Ar-Riwayah, hal. 46, “’Adalah (keadilan) para sahabat sudah pasti dan sudah diketahui dengan penilaian adil dari Allah atas mereka. Allah memberitakan tentang bersihnya mereka dan Allah memilih mereka (sebagai penolong Rasul-Nya) berdasarkan nash Al-Qur’an.”

Kemudian beliau menyebutkan sejumlah dalil. Beliau mengatakan, “Berita-berita dalam pengertian ini sangatlah luas. Semuanya sesuai dengan apa yang disebutkan dalam nash Al-Qur’an, semua itu menunjukkan kesucian para sahabat, dan kepastian akan penilaian adil dan bersihnya mereka. Bersamaan dengan penilaian adil dari Allah Ta’ala untuk mereka, yang mengetahui diri mereka, maka tidak seorang pun dari mereka membutuhkan penilaian adil dari manusia bahwa mereka memiliki sifat seperti ini, kecuali jika terbukti bahwa seseorang dari mereka melakukan sesuatu yang tidak dapat ditafsirkan dengan apapun kecuali berniat untuk berbuat maksiat, dan melampaui ruang lingkup penafsiran. Dengan demikian ditetapkanlah bahwa keadilan mereka telah gugur. Dan Allah telah membebaskan mereka dari itu, dan mengangkat status mereka di atasnya.

Akan tetapi, jika seandainya tidak ada satu pun dari apa yang kami sebutkan itu yang disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, maka keadaan mereka pada saat itu -yaitu para sahabat yang berhijrah, berjihad, memberikan dukungan kepada Rasul, mencurahkan pengorbanan jiwa dan harta, pembunuhan orang tua dan anak, saling menasihati dalam agama, keimanan yang kuat dan keyakinan- menyatakan keadilan mereka dan menegaskan bersihnya mereka. Mereka lebih baik daripada semua orang yang adil dan terpuji yang datang setelah mereka, sampai selama-lamanya. Inilah pendapat semua ulama dan fukaha yang perkataannya dipertimbangkan.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam kitab Minhaj As-Sunnah (1/306-307), “Para sahabat mungkin telah melakukan kesalahan dan dosa, namun mereka tidaklah ma’shum. Akan tetapi mereka tidak berbohong dengan sengaja, dan tidak ada seorang pun yang dengan sengaja berbohong atas nama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kecuali Allah akan membongkar rahasianya.”

Dr. Imad As-Syarbini berkata dalam bukunya Adalah As-Shahabah Radhiyallahu ‘Anhum fi Dhau’i Al-Qur’an Al-Karim wa As-Sunnah An-Nabawiyyah wa Daf’u As-Syubhat, mengatakan, “Makna dari keadilan para sahabat ialah bahwa mereka tidak dengan sengaja berbohong atas nama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena mereka telah tersematkan iman yang kuat, konsisten dalam ketaatan, muru’ah, akhlak yang luhur, dan terhindarkan dari hal-hal yang remeh.

Keadilan mereka tidak berarti bahwa mereka terjaga dari dosa, atau dari kelupaan atau kesalahan. Tidak ada seorang pun di antara para ulama yang mengatakan hal ini. Hendaknya diketahui, bahwa orang-orang yang berbuat dosa lalu mereka mendapat sangsi (Hudud), maka hal itu merupakan penebusan (Kaffarat) dosa bagi mereka, lalu mereka bertaubat dengan baik.”

Imam Al-Abyari Al-Maliki (wafat tahun 618 H) membenarkan apa yang disebutkan di atas ketika beliau berkata, “Keadilan mereka (para sahabat) maksudnya bukanlah mereka itu ma’shum, dan tidak mungkin mereka berbuat maksiat. Akan tetapi yang dimaksud ialah diterimanya riwayat mereka tanpa bersusah-susah mencari-cari alasan dari keadilan dan kesucian mereka, kecuali jika terbukti bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang mencemarkan diri mereka, dan hal itu belum pernah terjadi. Segala puji hanya milik Allah.

Kami tetap pada keadaan mereka (para sahabat) pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sampai terbukti sebaliknya. Kami tidak memperhatikan apa yang dikatakan oleh para penulis biografi, karena itu tidak benar. Jika toh benar, maka hal itu memiliki penafsiran yang benar.”

Lihat pula kitab Fath Al-Mughits karya As-Sakhawi, 3/96, Al-Bahr Al-Muhith karya Az-Zarkasyi, 4/300 dan Irsyad Al-Fuhul, 1/278.

Ketiga.

Adapun pernyataan saudara penanya tentang keberadaan sebagian orang munafik di sekitar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka hal itu tidak mencemari sifat adil para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum, karena beberapa alasan berikut :

  1. Orang-orang munafik tidak termasuk golongan sahabat, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Ibnu Hazm berkata dalam Al-Ihkam (5/89), “Adapun para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum yaitu setiap orang yang duduk bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, meskipun hanya sesaat, dan mendengar darinya sepatah kata atau lebih, atau menyaksikan sesuatu dari diri beliau sesuatu yang dipahaminya, dan bukan termasuk orang-orang munafik yang kemunafikannya telah menyebar luas hingga mereka meninggal dunia dalam keadaan seperti itu...”
  2. Kaum munafik merupakan golongan minoritas yang hina dan dikenal di kalangan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang munafik, yang oleh para ulama, dimasukkan ke dalam golongan sahabat. Hal ini ditunjukkan oleh pernyataan Abdullah bin Mas’ud RadhiyallahuAnhu tentang shalat berjamaah.

وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ

أخرجه مسلم في "صحيحه" (654)

“Aku telah melihat bahwa tidak ada yang tertinggal dari shalat berjamaah, melainkan seorang munafik yang jelas kemunafikannya.” (HR. Muslim dalam Shahihnya, no. 654).

Mereka menjadi lebih dikenal dan dipermalukan setelah mereka tertinggal (tidak ikut) dalam Perang Tabuk dan turunnya Surat At-Taubah tentang mereka. Oleh karena itu, Ka’ab bin Malik RadhiyallahuAnhu berkata dalam kisah tertinggal (tidak ikut serta) dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam Perang Tabuk,

فَكُنْتُ إِذَا خَرَجْتُ فِي النَّاسِ بَعْدَ خُرُوجِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطُفْتُ فِيهِمْ ، أَحْزَنَنِي أَنِّي لاَ أَرَى إِلَّا رَجُلًا مَغْمُوصًا عَلَيْهِ النِّفَاقُ ، أَوْ رَجُلًا مِمَّنْ عَذَرَ اللَّهُ مِنَ الضُّعَفَاءِ

أخرجه البخاري (4418) ، ومسلم (2769)

“Maka apabila aku keluar di tengah-tengah manusia setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  berangkat perang, dan berjalan di tengah-tengah mereka, aku merasa sedih karena tidak melihat seorang pun kecuali seorang laki-laki yang penuh kemunafikan atau seorang laki-laki dari orang-orang lemah yang telah diberi ampunan oleh Allah.” (HR. Al-Bukhari, no. 4418 dan Muslim, no. 2769).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam Minhaj As-Sunnah, 8/474, “Kami sebutkan sebelumnya bahwa tidak ada orang munafik di tengah-tengah golongan Muhajirin.

Perlu diketahui bahwa orang-orang munafik jumlahnya sedikit dibandingkan dengan orang-orang Mukmin. Dan keadaan kebanyakan mereka baru terungkap ketika Al-Qur’an dan ayat-ayat lainnya diturunkan tentang mereka. Meskipun Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak mengenal masing-masing orang tersebut secara khusus, namun mereka yang terlibat langsung dalam peristiwa tersebut mengenalnya.

Mengetahui apakah seseorang itu seorang Mukmin secara batin, atau seorang Yahudi, seorang Nasrani, atau seorang musyrik adalah sesuatu yang tidak dapat disembunyikan setelah jangka waktu yang lama. Karena tiadalah seseorang yang menyimpan rahasia, kecuali Allah akan menyingkapkannya melalui raut wajahnya dan keceplosan lidahnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ نَشَاءُ لَأَرَيْنَاكَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ

سُورَةُ مُحَمَّدٍ: 30

‘Seandainya Kami berkehendak, niscaya Kami menunjukkan mereka kepadamu (Nabi Muhammad) sehingga engkau benar-benar dapat mengenali mereka melalui tanda-tandanya.’ (QS. Muhammad : 30).

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ

[سُورَةُ مُحَمَّدٍ: 30] .

‘Engkau pun benar-benar akan mengenali mereka melalui nada bicaranya.’ (QS. Muhammad : 30).

Orang yang menyembunyikan kekafirannya dapat dikenali dari nada bicaranya, namun dari penampilannya terkadang dia bisa dikenali, terkadang tidak.

Allah Ta’ala berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ 

[سُورَةُ الْمُمْتَحَنَةِ: 10]

‘Wahai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih tahu tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui (keadaan) mereka bahwa mereka (benar-benar sebagai) perempuan-perempuan mukmin, janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami mereka).’ (QS. Al-Mumtahanah : 10).”

Al-Mu’alimi Al-Yamani berkata dalam Al-Anwar Al-Kasyifah (hal. 278), “Dan dalam Shahih, dalam hadits tentang Ka’ab bin Malik, salah seorang dari tiga orang yang tetap tinggal disebutkan, ‘Maka apabila aku keluar di tengah-tengah manusia setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  berangkat perang, dan berjalan di tengah-tengah mereka, aku merasa sedih karena tidak melihat seorang pun kecuali seorang laki-laki yang penuh kemunafikan atau seorang laki-laki dari orang-orang lemah yang telah diberi ampunan oleh Allah.’  Dan dalam hal ini terdapat pernyataan bahwa orang-orang munafik telah dikenal secara umum sebelum Perang Tabuk, kemudian hal ini dikuatkan dengan tetap tinggalnya mereka tanpa alasan dan tidak adanya taubat, kemudian diturunkanlah surah Bara’ah yang membinasakan mereka. Dengan demikian jelaslah bahwa mereka telah disebut dengan nama-nama mereka sebelum wafatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

  1. Tidak ada seorang munafik pun yang meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Al-Mardawi berkata dalam At-Tahbir Syarh At-Tahrir (4/1995), “Al-Hafiz Al-Mizzi berkata, ‘Di antara faedahnya adalah tidak ada riwayat dari seorang pun di antara para sahabat yang dituduh bersikap munafik.’”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyyah (8/474), “Para sahabat yang disebutkan dalam riwayat-riwayat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan orang-orang yang dihormati kaum Muslimin karena agama mereka, semuanya adalah orang-orang yang beriman kepadanya. Kaum muslimin -Alhamdulillah- tidak menghormati seorang yang munafik terhadap agama.”

Keempat.

Sedangkan Al-Walid bin Uqbah adalah seorang sahabat, tanpa ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Dia termasuk ke dalam keumuman ayat-ayat dan hadits-hadits yang memuji para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum dan memutuskan keadilan mereka.

Adapun turunnya ayat yang mulia tentang dirinya dan gambarannya sebagai orang yang fasik, hal ini belum terbukti secara jelas.

Sebagian ulama, seperti Ibnu Abdil Barr dalam Al-Isti’ab (4/1553), berpendapat bahwa ayat ini diturunkan mengenai dirinya dan selain dirinya.

Ada sebagian ulama lagi yang menafikan turunnya ayat ini kepada Al-Walid, di antara mereka adalah Ar-Razi dalam Tafsirnya, Mafatih Al-Ghaib (28/98), Ibnu Asyur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir (26/269), Muhibbudin Al-Khathib dalam komentarnya terhadap Al-Awashim min Al-Qawashim karya Ibnu Al-Arabi (hal. 102). Terutama atsar-atsar yang disebutkan mengenai hal itu tidak lepas dari kritikan dari sisi Isnad. Ibnu Katsir Rahimahullah menyebutkan atsar mengenai sebab turunnya ayat dalam Tafsir-nya (7/370) dan beliau tidak memberikan komentar apapun. Namun dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (11/604) beliau memberikan komentar atasnya, “Tidak hanya satu mufassir yang menyebutkan hal itu. Allah-lah yang lebih tahu mengenai keshahihannya.”

Dalam masalah ini terdapat isyarat bahwa atsar itu termasuk yang tidak diketahui keshahihannya dan tidak terkenal di kalangan para ulama.

Syaikh Ahmad Syakir Rahimahullah menghilangkan atsar ini dalam ringkasannya untuk Tafsir Ibnu Katsir (3/355). Dalam masalah ini terdapat isyarat bahwa atsar itu lemah (dhaif) dan tidak shahih. Beliau menyebutkan dalam mukadimah (1/11) bahwasanya beliau membuang setiap hadits dhaif atau yang cacat (Ma'lul)."

Adapun kisah yang sama yang diriwayatkan, setelah direnungkan (diteliti), di dalamnya tidak terdapat sesuatu yang menggambarkan bahwa Al-Walid itu fasik.

Penjelasannya adalah di dalam atsar disebutkan bahwasanya Bani Al-Mushthaliq berangkat untuk menemuinya. Kemudian Al-Walid menyangka bahwa mereka berangkat untuk memeranginya, sehingga dia pun takut, lantas pulang dan memberitahu Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam mengenai masalah itu. Hal itu tidak menunjukkan kalau Al-Walid itu fasik, meskipun prasangkanya keliru. Tetapi Al-Walid tidak sengaja untuk berdusta.

Ar-Razi mengatakan dalam Tafsir-nya (14/271), “Apa yang kami sebutkan sebelumnya menguatkan bahwa penyebutan lafaz fasik terhadap Al-Walid adalah sesuatu yang amat jauh, karena Al-Walid berilusi dan berprasangka, lalu keliru. Sementara orang yang keliru tidaklah dinamakan sebagai fasik.”

Kalau kita memastikan bahwa ayat yang mulia ini turun pada Al-Walid, dan dia berhak atas sifat itu -seperti disebutkan sebelumnya bahwa hal ini belum bisa diterima- maka bisa dijawab bahwasanya Al-Walid sudah bertaubat dari hal itu dan memperbaiki taubatnya, sebagaimana kondisi siapapun dari kalangan sahabat Radhiyallahu 'Anhum yang terjerumus ke dalam maksiat, seperti halnya Ma'iz dan wanita suku Al-Ghamidiyah yang bertaubat dengan baik, wanita suku Al-Makhzumiyah yang mencuri bertaubat dengan baik, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memotong tangannya, Abu Lubabah bertaubat dengan baik dari apa yang diperbuatnya terhadap Bani Quraizhah, Ka'ab bin Malik dan kedua sahabatnya yang tertinggal Perang Tabuk tanpa alasan dan mereka bertaubat dengan baik.

Berdasarkan keshahihan pendapat yang telah dikemukakan, maka Al-Walid bin Uqbah telah bertaubat dengan baik, oleh sebab itulah Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu 'Anhu mengangkatnya untuk mengurusi zakat dan sedekah Bani Taghlib, dan Utsman bin Affan mengangkatnya sebagai gubernur Kufah. Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah (11/604).

Beliau berdua (Umar dan Utsman Radhiyallahu Anhuma) tidak akan mengangkat Al-Walid, melainkan karena dia adalah sosok yang kuat, tepercaya, adil dan tidak fasik.

Abu Bakar Al-Arabi Rahimahullah mengatakan dalam pendapatnya tentang keadilan para sahabat dan penafian sifat fasik dari mereka, “Dosa-dosa yang dilakukan tidaklah menggugurkan keadilan jika diikuti dengan taubat.” (Al-Awashim min Al-Qawashim, hal. 94).

As-Sakhawi berkata dalam Fath Al-Mughits (3/112), “Adapun Al-Walid dan yang lainnya yang disebutkan dalam berita tentang mereka, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menahan (mencegah) orang yang mengutuk sebagian mereka dengan mengatakan, ‘Janganlah melaknatnya. Demi Allah, aku tidak tahu dia, kecuali mencintai Allah dan Rasul-Nya.’ Sebagaimana Umar pernah mencegah Hathib Radhiyallahu 'Anhuma dengan kata-katanya, ‘Sesungguhnya dia menyaksikan (ikut serta) Perang Badar. Tahukah kamu, barangkali Allah melihat para veteran Perang Badar, kemudian Dia berfirman, ‘Berbuatlah sekehendak hati kalian, Aku telah mengampuni kalian.’ Apalagi mereka tulus dalam bertaubat dari maksiat yang mereka lakukan, sedangkan sangsi Hudud menjadi penghapus (Kaffarat) dosa. Bahkan dikatakan tentang Al-Walid secara khusus, ‘Sebagian penduduk Kufah telah bersikap berat sebelah terhadapnya dan memberikan kesaksian yang tidak adil terhadapnya. Secara umum, tidak mendalami masalah ini dan yang semisalnya merupakan sesuatu yang harus ditetapkan.”

Dr. Muhammad Mushthafa Al-A'zhami mengatakan dalam bukunya, Manhaj An-Naqd 'Inda Al-Muhaditsin, Nasy'athu wa Tarikhuhu, "Akan tetapi, di samping itu, Allah Ta'ala berfirman,

وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًا وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ وَاَصْلَحُوْاۚ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Orang-orang yang menuduh (berzina terhadap) perempuan yang baik-baik dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (para penuduh itu) delapan puluh kali dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali mereka yang bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur : 4-5).

Meskipun para ulama berbeda pendapat mengenai apakah pengecualian kembali pada kalimat terakhir saja, maka taubat tidak akan menghilangkan kecuali kefasikan, si penuduh masih tetap ditolak kesaksiannya selamanya meskipun ia bertaubat, atau pengecualian kembali pada kalimat terakhir dan kalimat yang sebelumnya, maka taubat dapat menghilangkan kefasikan dan dia kembali diterima kesaksiannya.

Namun, jumhur fukaha berpendapat bahwasanya diterimanya kesaksian orang yang menuduh itu ditetapkan setelah dia bertaubat. Hal itu dikuatkan oleh tindakan-tindakan para ahli hadits, yang mana mereka menerima riwayat Hassan bin Tsabit bin Al-Mundzir bin Haram Al-Anshari, seorang penyair Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam dan Hamnah binti Jahsyi Al-Asadiyah, saudara perempuan Zainab, Ummul Mukminin.”

Bahkan kejadian Al-Walid meminum khamr, apa yang telah ditetapkan dalam Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) pada Al-Bukhari (no. 3696) dan Muslim (no. 1707), bahwa beliau dicambuk dengan kesaksian dua orang saksi yang memberatkannya. Mengenai apakah dia minum atau tidak, itu masalah lain.

Lebih dari satu ulama telah menyebutkan bahwa sebagian penduduk Kufah secara keliru menuduhnya meminum khamar dan memberikan kesaksian palsu terhadapnya.

Diketahui bahwa penduduk Kufah bahkan mengecam Sa’ad bin Abi Waqqas, sampai-sampai mereka berkata, ‘Dia tidak shalat dengan baik, lalu bagaimana dengan Al-Walid ?!’

Ibnu Khaldun berkata dalam Tarikh-nya, Diwan Al-Mubtada’ wa Al-Khabar (1/269), “Fitnah dari penduduk kota tidak berhenti, dan kekejaman terus berkembang. Al-Walid bin Uqbah dituduh meminum khamr saat dia berada di Kufah, dan sekelompok dari mereka bersaksi atasnya, dan Utsman menghukumnya.”

Berdasarkan hal tersebut, ini juga tidak pasti.

Andaikan hal itu terbukti darinya, maka yang dimaksud dengan adil sebagaimana yang telah disebutkan adalah menerima kesaksian para sahabat dan riwayat-riwayat mereka dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena mereka memiliki rasa takut kepada Allah yang cukup untuk mencegah mereka dari dusta yang disengaja.

Al-Walid bin Uqbah tidak sengaja berbohong dalam riwayat manapun. Bahkan, ia tidak meriwayatkan sesuatu pun dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kecuali satu hadits, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya. Dan isnad kepada Al-Walid ini lemah dan tidak shahih. Yakni, benar jika dikatakan bahwasanya Al-Walid tidak meriwayatkan satu hadits pun dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Hal ini cukup untuk memastikan bahwa ia tidak berbohong atas nama Rasulullah Shalallahu 'Alaihi‘ wa Sallam dengan sengaja. Inilah arti keadilan sebagaimana disebutkan sebelumnya.

Ibnu Abdil Barr berkata dalam Al-Isti’ab (4/1556), “Al-Walid bin Uqbah tidak meriwayatkan hadits yang mana ia dibutuhkan.”

Kita tutup dengan kata-kata yang baik dari ulama Al-Mu’alimi berikut ini. Beliau berkata dalam Al-Anwar Al-Kasyifah (hal. 271) tentang Al-Walid bin Uqbah, “Lelaki ini adalah yang paling dikecam oleh mereka yang keberatan dengan klaim umum tentang keadilan para sahabat. Kalau kita simak riwayat-riwayatnya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengetahui ada berapa banyak hadits yang diriwayatkannya tentang keutamaan saudara sekaligus kedermawanannya, yaitu Utsman.

Dan berapa banyak hadits yang ia ceritakan tentang keutamaan-keutamaan dirinya untuk membela diri dari ketenaran yang diperolehnya karena minum khamr ?

Kami terkejut karena tidak menemukan riwayat sama sekali darinya, kecuali sebuah hadits diriwayatkan darinya dengan cara yang berbeda yang tidak shahih, yaitu apa yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dari seorang laki-laki bernama Abu Musa Abdullah Al-Hamdani dari Al-Walid bin Uqbah yang berkata, ‘Ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menaklukkan Mekah, penduduk Mekah akan membawa anak-anak mereka kepada beliau dan beliau akan mengusap kepala mereka dan mendoakan mereka. Aku dibawa kepadanya saat aku diberi wewangian dengan kunyit, tetapi beliau tidak mengusap kepalaku. Satu-satunya hal yang menghalanginya melakukan itu adalah kenyataan bahwa ibuku telah memberiku wewangian dengan kunyit, jadi beliau tidak menyentuhku karena kunyit itu.’

Itulah semua yang kami temukan tentang Al-Walid dari riwayat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

Jika Anda memeriksa sanadnya, maka Anda akan menemukan bahwa itu tidak shahih karena Al-Hamdani adalah seorang yang tidak dikenal (Majhul).

Kalau Anda renungkan matannya, Anda tidak akan menemukan kemungkaran, dan tidak pula mengandung sesuatu yang dapat menuduh Al-Walid. Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah sebaliknya, karena tidak disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mendoakannya, dan menyebutkan bahwa beliau tidak mengusap kepalanya.

Tidakkah Anda lihat dalam hal ini merupakan suatu dalil yang jelas, bahwa ada pembatas yang tegas antara para sahabat dan dusta terhadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam sanggahannya terhadap Al-Ikhna’i (hal. 163), “Tidak diketahui siapa di antara para sahabat yang dengan sengaja berbohong atas nama Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam meskipun di antara mereka ada yang melakukan dosa. Akan tetapi, hal ini merupakan salah satu hal yang Allah jaga bagi mereka.”

Kemudian Al-Mu'alimi berkata, “Para ulama hadits mendasarkan pertimbangan mereka kepada para sahabat yang diragukan keadilannya, dengan mempertimbangkan apa yang telah mereka sampaikan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam atau dari seorang sahabat lain, dan mereka mengemukakannya kepada Al-Qur'an dan Sunnah serta riwayat-riwayat orang lain, dengan mempertimbangkan keadaan dan keinginan mereka. Mereka tidak menemukan sesuatu yang mengharuskan adanya tuduhan. Bahkan mereka mendapati bahwa sebagian besar apa yang mereka riwayatkan telah diriwayatkan oleh para sahabat lain yang tidak dituduh, atau ada sesuatu dalam syariat yang maknanya serupa atau yang mendukungnya.”

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa ketetapan keadilan para sahabat adalah suatu hal yang pasti.

Tidak perlu diragukan lagi apa yang diatributkan kepada Al-Walid bin Uqbah, karena ada keraguan atas ketetapannya. Karena keadilan tidak memerlukan adanya kema'shuman. Karena tujuan dari keadilan adalah tidak berbohong secara sengaja terhadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan semua sahabat pun seperti itu, bahkan mereka yang telah melakukan dosa.

Semoga Allah meridhai semua sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan semoga Dia memberikan taufik kepada kita dalam mencintai dan mengikuti mereka.

Wallahu A’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android
Seputar Konsep Keadilan Para sahabat. Apakah Kehadiran Orang-orang Munafik dan Orang yang Datang dengan Kefasikan Seperti Al-Walid bin Uqbah Mencemarkan Keadilan Sahabat ? - Soal Jawab Tentang Islam