Pada prinsipnya adalah bahwa setiap shalat harus dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا
Sesungguhnya salat itu merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan atas orang-orang mukmin.(An-Nisa'/4:103),
artinya: waktunya sudah ditentukan, dan tidak boleh menggabungkan dua shalat (jamak) kecuali ada alasan yang sah, dan di antara alasan yang membolehkan jamak; adalah adanya kesulitan.
Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang Negara yang hilangnya awan merah di ufuk sebagai awal masuknya waktu isya’ datang terlambat, hal ini menimbulkan kesulitan bagi mereka untuk menunggunya?
Beliau menjawab: “apabila awan merah di ufuk menghilang sebelum fajar dalam waktu lama yang cukup untuk shalat isya’ maka hendaknya mereka menunggu sampai ia menghilang, kecuali waktu menunggunya menyebabkan kesulitan bagi mereka, maka mereka boleh menggabungkan shalat isya dengan maghrib dengan jamak taqdim untuk menghindari kesukaran dan kesulitan, sebagaimana firman Allah ta’ala:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ
(Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran). (Al-Baqarah/2:185), dan firman-Nya:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
(dan tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama). (Al-Hajj/22:78),
dan disebutkan dalam Sahih Muslim, dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
أن النبي صلى الله عليه وسلم جمع بين الظهر والعصر ، وبين المغرب والعشاء في المدينة من غير خوف ولا مطر ) قالوا : ما أراد إلى ذلك ؟ قال : ( أراد أن لا يحرج أمته
(Rasulullah shalallahu alaihi wa salam pernah menjamak shalat di Madinah tanpa dasar rasa takut dan hujan, para sahabat bertanya: apa yang diinginkan beliau shalallahu alaihi wa salam? Abdullah Ibnu Abbas menjawab: beliau menginginkan agar tidak memberatkan umatnya.
Artinya: agar tidak menyebabkan kesulitan karena menghindari jamak. Semoga Allah memberikan taaufik-Nya untuk kebaikan dan kebenaran. Kutipan akhir dari Majmoo’ Fataawa al-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (12/206).
Untuk itu; jika suami anda bisa terbangun untuk shalat dengan bantuan alarm, dan bisa menjalani pekerjaannya dengan aman dan tidak menimbulkan kesulitan, maka tidak ada alasan baginya untuk menggabungkan shalat (jamak), dan jika ia tidak bisa terbangun, atau jika hal itu menyebabkan sedikitnya waktu tidur, dan menyebabkan ia meninggalkan pekerjaannya, atau membuatnya mengemudi dalam keadaan tidur, maka nampaknya ia boleh baginya untuk menggabungkan shalat (jamak) karena ada kesulitan dalam hal ini, sebagimana disebutkan oleh beberapa ulama fikih tentan bolehnya jamak bagi seseorang yang khawatir pekerjaan dan mata pencaharianya terganggu.
Beliau mengatakan dalam “kasyaf al-qana” (1/496): “dimaafkan meninggalkan shalat Jumat dan shalat berjamaah jika dia takut harta atau mata pencahariannya akan terganggu, atau jika ia harus menyiram tanaman atau kebunnya karena khawatir jika tidak dilakukan akan rusak, atau menjaga sesuatu yang dikhawatirkan akan hilang jika ditinggalkan, seperti penjaga kebun atau yang lainya, karena kesulitan yang ditimbulkannya lebih besar daripada basahnya pakaian karena hujan, yang merupakan udzur menurut kesepakatan ulama.” Kutipan akhir dari beberapa sumber.
Wallahu a’lam.